Bahasa Baku dan Tidak Baku

on Selasa, 20 Maret 2012
2.1     Pengertian Bahasa Baku
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerimaan dan pengirim bahasa harus menguasai bahasanya.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat dalam komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, seangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Fungsi bahasa dalam masyarakat:
1.      Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2.      Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3.      Alat untuk mengidentifikasi diri.
Macam-macam dan jenis-jenis ragam/keragaman bahasa:
1.      Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dan sebagainya.
2.      Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa Benyamin S, dan sebagainya.
3.      Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan sebagainya.
4.      Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5.      Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6.      Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku)
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pedang, oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata tidak sebarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara dalam berkomunikasi.
Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara berkomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat seperti bisu,tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.
1.2           Penyebab terjadinya variasi penggunaan bahasa asing dalam lingkup masyarakat Indonesia.

1.      Interferensi
Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam masyarakat. Perkembangan ini tentu menjadi masalah tersendiri dan perlu mendapat perhatian, kedwibahasaan, bahkan kemultibahasaan adalah suatu kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap penguasaan bahasa Indonesia. Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus terkalahkan oleh bahasa daerah.

Alwi, dkk.(eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan dari bahasa Jawa, misalnya dianggap pemerkaya bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap penncemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi.

Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.

Selain bahasa daerah, bahasa asing (bahasa Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Pengguasaan bahasa Inggris yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik daripada hanya menguasai bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang sudah tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mngakibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona. Misalnya, masyarakat labih cenderung memilih “pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.

2.      Integrasi
Selain interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia. Chaer (1994: 67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk sudah dianggap, diperlukan dan dipakai sebagai bagian dan bahasa yang menerima atau yang memasukinya. Proses integrasi iini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi antara lain montir, riset, sopir, dongkrak.
3.      Alih kode dan campur kode
Alih kode (code swiching) dan campur kode (code mixing) merupakan dua buah masalah dalam masyarakat multilingual. Peristiwa campur kode dan alih kode disebabkan karena penguasaan ragam formal bahasa Indonesia.
Alih kode adalah beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau bahasa lain) (Chaer, 1994: 67). Campur kode adalah dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi santai (Chaer, 1994: 69). Diantara ke dua gejala bahasa itu, baik alih kode maupun campur kode gejala yang sering merusak bahasa Indonesia adalah campur kode. Biasanya dalam berbicara bahasa Indonesia dicampurkan dengan unsur-unsur bahasa daerah. Sebaliknya juga bisa terjadi dalam berbahasa daerahtercampur unsur-unsur bahasa Indonesia. Dalam kalangan orang terpelajar seringkali bahasa Indonesia dicampur dengan unsur-unsur bahasa Inggris.
4.      Bahasa Gaul
Saat dewasa ini pemakaian bahasa Indonesia baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia film mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul. Interferensi bahasa gaul kadang muncul dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi yang mengakibatkan penggunaan bahasa tidak baik dan tidak benar.
Bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagau bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya para bajingan atau anak jalanan disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman.
Sehubung semakin maraknya penggunaan bahasa gaul yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang perduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Dewasa ini, bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa gaul. Dalam konteks kekinian, bahasa gaul merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai setelah Debby Sahertian mengumpulkan kosa-kata yang digunakan dalam komunitas tersebut dan menerbitkan kamus yang bernama Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999.


Contoh penggunaan bahasa gaul sebagai berikut:
Bahasa Indonesia
Bahasa Gaul (informal)
Aku, Saya
Gue
Kamu
Elo
Di masa depan
Kapan-kapan
Apakah benar?
Emangnya bener?
Tidak
Gak
Tidak Peduli
Emang gue pikirin!

5.      Bahasa Lisan yang Dituliskan
Dalam suasana informal ketika pelajar bercakap-cakap dengan teman sebayanya, mereka begitu lepas tidak terikat dengan kebakuan. Bahkan mereka sangat kreatif menciptakan kata-kata baru yang disepakati secara tidak tertulis dan hanya dipahami ole mereka. Perhatikan cuplikan percakapan berikut dengan latar sekolah:
Gue          : Nadskii minggu lalu, kan gue surskii ke perpus carskii data buat tugskii
kitskii.Gimanskii udskii dapskii belskii?
Nadya      : Udskii, tapskii buat tugskii yang keduskii belskii dapskii.
Gue          : Yaamskii... itskii pentskii bangskii
Nadya      : Yaa.. abskii gimanskii tadskii adskii Lajoo tibskii-tibskii. Ihh skii gue
sebskii bangskii
Gue          : Okskii gue ngertskii gapapskii udskii udskii
            Dalam percakapan diatas, banyak unsur kegramatikalanyang ditanggalkan, seperti pelesapan subjek, peringkasan kata, pemenggalan huruf, atau peralihan kode bahasa. Namun, semua itu berlangsung lancar-lancar saja, tidak ada hambatan yang disebabkan salah satu partisipan tidak memahami makna atau maksud ujaran mitra tutur. Dalam hal ini Moeliono (1980) mengatakan bahwa hal itu tidak menjad masalah karena tiras atau inti bersama yang mereka gunakan masih sama, yaitu bahasa Indonesia.
1.3                Pemahaman terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar

    Kurangnya pemahaman terhadap variasi pemakaian bahasa berimbas pada kesalahan penerapan berbahasa. Secara umum dan nyata perlu adanya kesesuaian anatara bahasa yang dipakai dengan tempat berbahasa. Tolak ukur variasi pemakaian bahasa adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan parameter situasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma yang berlaku dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia (Sugono, 1994: 8).

a.      Bahasa Indonesia yang baik
            Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam situasi santai dan akrab, seperti warung kopi, pasar, di tempat arisan, dan dilapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang tidak terlalu terikat pada patokan. Dalam situasi formal seperti kuliah, seminar, dan pidato kenegaraan hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang resmi dan formal yang selalu memperhatikan norma bahasa.

b.      Bahasa Indonesia yang benar
            Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kaidah bahasa itu meliputi kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat, kaidah penyusunan paragraf, dan kaidah penataan penalaran. Jika kaidah ejaan digunakan dengan cermat, kaidah pembentukan kata ditaati secara konsisten, pemakaian bahasa dikatakan benar. Sebaliknya, jika kaidah-kaidah bahasa kurang ditaati, pemakaian bahasa tersebut dianggap tidak benar atau tidak baku.

Hymes (1974) dalalm Chaer (1994: 63) mengatakan bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapan unsur yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni:
a)      Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Contohnya, percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tertentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran berlangsung.
b)      Participants, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan. Contohnya, antara karyawan dengan pimpinan. Percakapan antara karyawan dan pimpinan ini tentu berbeda kalau partisipannya bukan karyawan dan pimpinan, melainkan antara karyawan dengan karyawan.
c)      Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya, seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran Bahasa Indonesia secara menarik, tetapi hasilnya sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat denagn pelajaran bahasa.
d)     Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan.
Misalnya dalam kalimat:
1)      Sinta berkata dalam hati. “Semoga aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri”.
2)      Sinta berkata dalam hati, semoga dia diterima di Perguruan Tinggi Negeri.
Perkataan “Semoga aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri” pada kalimat (1) adalah bentuk percakapan, sedangkan kalimat (2) adalah contaoh isi percakapan.
e)      Key, yaitu menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan.
f)       Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan.
g)      Norm, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
h)      Genres, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan
.

1.4           Diperlukan adanya undang-undang kebahasaan.

      Beberapa tahun lalu pemerintah mencanangkan undang-undang tentang peggunaan bahasa Indonesia yang mengharamkan penggunaan bahasa asing di ruang umum. Hal tersebut menggambarkan kerja pemerintah yang dinilai masih setengah-setengah terhadap bahasa bangsa sendiri.

      Dengan adanya undang-undang penggunaan bahasa diharapkan masyarakat Indonesia mampu menaati kaidahnya agar tidak mencintai bahasa negara lain di negeri sendiri. Sebagai contoh nyata, banyak orang asing yang belajar bahasa Indonesia merasa bingung saat mereka bericara langsung dengan orang Indonesia asli, karena Bahasa yang mereka pakai adalah formal, sedangkan kebanyakan orang Indonesia berbicara dengan bahasa informal dan gaul.

1.5           Peran variasi bahasa dan penggunaannya.

      Variasi bahasa terjadi akibat adanya keberagaman penutur dalam wilayah yang sangat luas. Penggunaan variasi bahasa harus disesuaikan dengan tempatnya (diglosia), yaitu antara bahasa resmi atau bahasa tidak resmi.
A.    Variasi bahasa tinggi (resmi) digunakan dalam situasi resmi seperti, pidato kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi, dan buku pelajaran. Variasi bahasa tinggi harus dipelajari melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah.
B.     Variasi bahasa rendah digunakan dalam situasi yang tidak fomal, seperti di rumah, di warung, di jalan, dalam surat-surat pribadi dan catatan untuk dirinya sendiri. Variasi bahasa ini dipelajari secara langsung dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam pendidikan formal.







1.6           Menjunjung tinggi bahasa Indonesia di negeri sendiri

      Sebenarnya apabila kita mendalami menurut fungsinya yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama dan utama di negara Republik Indonesia.

Bahasa daerah yang berada dalam wilayah republik bertugas sebagai penunjang bahasa nasional, sumber bahan pengembangan bahasa nasional, dan bahasa pengantar pembantu pada tingkat permulaan di sekolah dasar di  daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain. Jadi, bahasa-bahasa daerah ini secara sosial politik merupakan bahasa kedua.

Selain bahasa daerah, bahasa-bahasa lain seperti bahasa Cina, bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancis berkedudukan sebagai bahasa asing. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa asing, bahasa-bahasa tersebut bertugas sebagai sarana perhubungan antarbangsa, sarana pembantu pengembangan bahasa Indonesia, dan alat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern bagi kepentingan pembangunan nasional. Jadi, bahasa-bahasa asing ini merupakan bahasa ketiga didalam negara Republik Indonesia.

Nama :
 - Eka Rachma
-  Siti Nurul

0 komentar:

Posting Komentar